Selasa, 01 Februari 2011

Orientasi Religius

Orientasi Religius didefinisikan sebagai sistem cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya, yang menentukan pola bentuk relai individu dengan agamanya. Sistem cara pandang ini akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam hal menafsirkan ajaran agama dan menjalankan apa yang dianggapnya sebagai perintah agama (Wiley & Sons, 1991).
Perlu dijelaskan bahwa dalam definisi ini, frase kedudukan agama tidaklah merujuk pada tingkat relevansi atau seberapa penting agama dalam kehidupan. Konsep Orientasi Religius tidak menjawab seberapa penting atau relevan, namun menjelaskan sebagai apa agama berperan dalam kehidupan seseorang. Dan Konsep Religiusitas ini adalah salah satu cara untuk melihat perilaku religius seseorang atau dari kebutuhan apa yang mendorong orang melakukan agama ( Allyn & Bacon, 1996).
Sejak tahun 1945, para psikolog sosial mulai membicarakan tentang dua cara yang membedakan dalam menjadi seorang yang beragama (ways of being religious). Dalam cara yang pertama komitmen terhadap agama dipikirkan secara seksama dan diperlakukan dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir (an end in self). Adapun dalam cara yang kedua agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada diri sendiri (Batson & Schoenrade, 1991, dalam journal for scientific study of religion).
Alport (1967) mengutarakan bahwa kebutuhan adalah variabel yang penting dalam gaya keberagamaan seseorang. Dengan adanya motif yang berbeda-beda, maka manusia pun bisa menjadi religius dengan gaya yang berbeda-beda pula. Lebih jauh lagi, sejalan dengan para psikologi sosial, Alport mengajukan dua konsep Orientai Religius berdasarkan aspek motivasional yang mendasarinya. Mereka yang menjadikan agama sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan lain diluar agama disebut berorientasi Ekstrinsik. Sementara itu yang menjadikan agama sebagai tujuan disebut memiliki  Orientasi Religius Intrinsik.
2.3.1          Dimensi Orientasi Religius
Di
Pada awalnya Allport mengemukakan istilah “terinstitusionalisasi” dan “terinternalisasi” untuk membedakan dua sudut pandang dalam beragama. (Addison & Wesley, 1954). Kemudian Alport dan Ross membagi dua orientasi religious berdasarkan aspek motivasional yang mendasari yaitu orientasi intrinsik dan ekstrinsik.
  1. Orientasi Religius Intrinsik
Orientasi Religius Intrinsik merupakan cara beragama yang memikirkan komitmen terhadap agama dengan seksama dan memperlakukan komitmen tersebut dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir (Batson & Schoenrade, 1991).
Pada individu intrinsik, ajaran agama diinternalisasikan dan diikuti secara penuh. karena Agama berfungsi sebagai framework dalam menjalani kehidupan. Lebih jelasnya seorang yang ber-Orientasi Religius Intrinsik adalah seseorang yang berusaha sungguh-sungguh untuk menghayati ajaran dan mengikuti petunjuknya secara penuh.
Seorang muslim yang Orientasi Religius Intrinsik, dengan kesadaran penuh melaksanakan ibadah dan berprilaku sesuai tuntunan agama yang timbul dari dalam dirinya, bukan karena ada dorongan dari luar, status sosial, atau ingin mencapai pengakuan dari orang lain.
2.      Orientasi Religius Ekstrinsik
Orientasi Religius Ekstrinsik adalah cara pandang seseorang dalam beragama yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada dirinya sendiri. (Batson & Schoenrade, 1991).
Dalam Orientasi Religius ini penekanan diberikan pada penampilan luar dari agama, aspek-aspek yang dapat diraba, berupa ritual dan terlembaga dari agama yang banyak dianggap sedbagai tanda ketaatan dalam kebudayaan (Wiley & Sons,1991)
Orang-orang yang ber-Orientasi Religius Ekstrinsik mempunyai kecenderungan besar menggunakan religiusitasnya untuk mencapai tujuan pribadi mereka, dan bukanlah berupa motif  pengarah atau motif pemandu,  tetapi lebih ke motif pelayanan motif-motif yang lain.
Studi Religius menunjukan bahwa terkadang hasil penelitian menunjukan adanya individu-individu dengan skor tinggi pada kedua skala Intrinsik dan Ekstrinsik. menurut alport (1967), hal ini menunjukan bahwa sampel indiscriminately prolegiousm, yaitu agama diperlakukan baik tujuan akhir maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan yang berpusat pada diri sendiri, dengan kata lain hal ini menunjukan bahwa individu masih mencari hakikat agama yang sesungguhnya.
Sebaliknya trdapat individu-individu yg mendapat nilai rendah pada kedua skala intrinsik dan ekstrinsik. Dengan demikian individu-individu tersebut indiscriminately antireligious. Meraka menolak ide-ide proreligious dan berfikir dalam satu kategori luas bahwa ”agama itu buruk”. Golongan yang menolak agama tampaknya tidak terkait dalam penelitian ini, mengingat subjek dlm penelitian ini adalah yang beragama islam.

February ke-21

01 February 2011,
Hari ini aku sangat senang, february  akhir’a masih dapat aku rasakan.. aku msh diberi kesempatan oleh’Nya untuk bertemu dengan February… February ini  seperti kembali mengingatkan ku akan 21 tahun kebelakang,, sesosok manusia kecil yang dinantikan oleh sepasang insan akhirnya terlahirkan kedunia, suci tanpa dosa. Hingga saat ini telah melalui dan sampai pada February ke-21, namun manusia itu sudah berubah, yang dulunya suci tanpa dosa, saat ini sudah tak terhingga banyaknya dosa2 yang telah dia buat. Astagfirullah al’adzim…

February ke-21, aku sangat merasa beruntung hadir pada bulan terindah dan termanis ini, aku sangat beruntung msh dapat menikmati oksigenNya hingga detik ini di bulan February ke-21. aku sangat beruntung.. maka, nikmat Tuhan ku, yang mana yang aku dustakan?

February ke-21 apakah masih akan ada February k-22,23,24, dst?? Apakah kau February terakhirku??
Tidak ada yang bisa menjawabnya kan? Tidak ada yang tau kecuali Dia…
Maka, di February ke-21 ini, aku ingin meminta….
Ya Rabb, jangan kau putus rahmatmu untuk ku, bimbinglah aku untuk menemui Mu nanti dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Lindungi seluruh orang2 terkasih. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Penyayang..